PACET – INICIANJUR.COM – Di balik keindahan alam Kecamatan Pacet yang kerap menjadi tujuan wisata, tersimpan persoalan serius yang dapat menghambat kemajuan sumber daya manusia yaitu tingginya angka Anak Tidak Sekolah (ATS).
Fenomena ini tidak hanya menjadi potret keterbatasan akses pendidikan tetapi juga menjadi ganjalan nyata dalam upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Cianjur.
Pemerintah Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur tak tinggal diam. Camat H. Neng Didi yang akrab disapa Uwa, memimpin langsung upaya pendataan ATS dengan sistem door to door ke tiap RT- RW di seluruh desa.
Fokusnya jelas, yaitu mendata anak usia 7 hingga 24 tahun yang belum pernah mengenyam pendidikan, putus sekolah, hingga yang tak lagi mengikuti jenjang formal mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA/MA hingga SMK.
“Anak-anak yang tidak sekolah berpotensi mengalami banyak kerugian. Mulai dari terbatasnya pengetahuan dan keterampilan, peluang kerja yang sempit, ketergantungan pada bantuan sosial hingga munculnya potensi masalah sosial di kemudian hari,” tegas Uwa saat ditemu pada Jumat, (01 Agustus 2025).
Langkah awal sudah dimulai di Desa Cipendawa sebagai sampel. Tak berselang lama, program ini merambah ke Desa Sukatani dan Ciherang. Targetnya, semua desa di Kecamatan Pacet dapat segera memiliki data konkrit mengenai warganya yang masuk kategori ATS.
“Alhamdulillah sudah terdata Sukatani, Cipendawa, dan Ciherang. Mudah-mudahan semua desa segera menyusul,” tambahnya.
Uwa menyampaikan bahwa hasil pendataan ini tidak akan berhenti sebagai angka semata. Pemerintah kecamatan akan menyerahkannya ke Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur serta mendorong anak-anak tersebut untuk bergabung ke jalur pendidikan non-formal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang tersebar di wilayah Pacet.
Kata Neng Didi, IPM merupakan indikator kunci dalam mengukur kualitas hidup masyarakat yang terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu pendidikan, kesehatan dan pendapatan. Tingginya angka ATS jelas menjadi beban berat, terutama di dimensi pendidikan.
Cianjur sendiri, berdasarkan catatan terakhir BPS, masih tertinggal dibandingkan beberapa kabupaten tetangga dalam hal angka partisipasi sekolah dan lama rata-rata sekolah. Keberadaan ATS yang tak tertangani dapat memperparah kondisi.
Upaya Kecamatan Pacet seakan menjadi alarm penting bagi wilayah lain di Cianjur. Tanpa pendidikan yang merata dan inklusif, pembangunan manusia akan pincang. Dan pada akhirnya, mimpi menjadi daerah maju hanya akan jadi wacana.
Langkah konkret seperti yang dilakukan Camat Uwa dan jajarannya patut menjadi contoh. Pendataan aktif, kolaborasi dengan stakeholder pendidikan serta keterlibatan langsung masyarakat melalui RT dan RW bisa menjadi kunci membuka akses pendidikan bagi mereka yang terpinggirkan.
“Kita tidak ingin ada satu pun anak di Pacet yang kehilangan masa depannya hanya karena tidak sekolah. Pendidikan adalah hak semua orang, bukan hak sebagian,” tutup Uwa dengan penuh keyakinan.***